Makalah Hak Milik Fiqih Muamalah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya manusia tidak bisa
hidup sendiri. Ia harus hidup bermasyarakat, saling membutuhkan dan saling
mempengaruhi. Dalam jual beli seseorang tidak bisa bermuamalah sendirian.
Apabila menjadi penjual maka memerlukan pembeli dan seterusnya. Setiap manusia
memiliki kebutuhan, sehingga sering terjadi pertentangan kehendak. Untuk
menjaga keperluan manusia agar tidak melanggar hak-hak orang lain, maka
timbulah hak-hak diantara sesama manusia, lebih tepatnya hak kepemilikan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana gambaran hak milik menurut
syariat islam ?
2.
Apa pengertian hak milik ?
3.
Bagaiman sistem pembagian hak ?
4.
Apa saja sebab-sebab kepemilikan hak
?
5.
Bagaimana klasifikasi hak milik ?
6.
Apa saja prinsip dalam kepemilikan ?
C. Tujuan
Tujuan
penulisan makalah “Hak Kepemilikan” adalah untuk menambah pengetahuan dan
wawasan pembaca mengenai hak kepemilikan dari sudut islam, memberikan penerapan
hak kepemilikan dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi bahan pustaka bagi para
pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP HAK MILIK (AL-MILKIYAH )
A. Asal
- Usul Hak
Manusia pada
dasarnya tidak bisa hidup sendirian, ia harus hidup bermasyarakat saling
membutuhkan dan saling mempengaruhi. Dalam melakukan aktivitas jual beli,
seseorang tidak bisa bermuamalah secara sendirian, bila ia menjadi penjual,
maka sudah jelas ia memerlukan pembeli, dan seterusnya. Setiap manusia
mempunyai kebutuhan, sehingga sering terjadi pertentangan kehendak. Untuk
menjaga keperluan manusia agar tidak melanggar dan memperkosa hak – hak orang
lain, maka timbullah hak dan kewajiban di antara sesama manusia. Hak milik
telah diberi gambaran nyata oleh hakikat dan sifat syariat Islam, sebagai
berikut.
1.
Tabiat dan sifat syariat Islam ialah
merdeka (bebas). Dengan tabiat dan sifat ini, umat Islam dapat membentuk suatu
kepribadian yang bebas dari pengaruh Negara – negara Barat dan Timur serta
mempertahankan diri dari pengaruh – pengaruh Komunis (sosialis) dan kapitalis
(individual).
2.
Syariat Islam dalam menghadapi
berbagai ke-musykil-an senantiasa bersandar kepada maslahat (kepentingan umum)
sebagai salah satu sumber dari sumber – sumber pembentukan hukum islam.
3.
Corak ekonomi Islam berdasarkan
Al-Quran dan As-Sunnah merupakan suatu corak yang mengakui adanya hak pribadi
dan hak umum. Bentuk ini dapat memelihara kehormatan diri yang menunjukan jati
diri. Individual adalah corak kapitalis, seperti Amerika Serikat, sedangkan
sosialis adalah ciri khas komunis seperti Rusia pada tahun 1980-an. Sementara
itu, ekonomi yang dianut Islam ialah sesuatu yang menjadi kepentingan umum yang
dijadikan milik bersama, seperti rumput, api dan air, sedangkan sesuatu yang
tidak menjadi kepentingan umum dijadikan milik pribadi.[1]
B.
Pengertian Hak Milik
Menurut
pengertian umum, hak adalah :
“ Sesuatu
ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan suatu kekuasaan atau
suatu beban hukum “.
Hak juga
bisa berarti milik, ketetapan, dan kepastian, sebagaimana disebutkan dalam
Alquran (QS. Yasin : 7)
ôs)s9¨,ymãAöqs)ø9$##n?tãöNÏdÎsYø.r&ôMßgsùwtbqãZÏB÷sãÇÐÈ
“
Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap
kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman “.
Pengertian tentang hak, sama dengan arti hukum dalam
istilah ahli ushul, yaitu :
“ Sekumpulan
kaidah dan nash yang mengatur atas dasar harus ditaati untuk mengatur hubungan
manusia dengan manusia, baik mengenai orang maupun mengenai harta “.
Ada juga yang mendefinisikan hak sebagai berikut.
“ Kekuasaan mengenai sesuatu atau sesuatu yang wajib
dari seseoarng kepada yang lainnya “.
Kekhususan
memungkinkan pemilik suatu barang menurut syara’ untuk bertindak secara bebas
bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang syar’i.
Apabila seseorang telah memiliki
suatu benda yang sah menurut syara’, orang tersebut bebas bertindak terhadap
benda tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik diri sendiri
maupun dengan perantara orang lain. Berdasarkan definisi ini, kiranya dapat
dibedakan antara hak dan milik, untuk lebih jelas dicontohkan sebagai berikut.
Seseorang pengampu berhak
menggunakan harta yang berada di bawah ampuannya, pengampuannya hak untuk
membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada di bawah
ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki berhak menggunakan dan
tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki.
Hak yang dijelaskan di atas
adakalanya merupakan sulthah, dan adakalanya pula merupakan taklif.
1.
Sulthah terbagi dua, yaitu sulthah
‘ala al nafsi dan sulthah ‘ala sya’in mu’ayanin.
a.
Sulthah ‘ala al nafsi ialah hak
seseorang terhadap jiwa, seperti hal hadlanah (pemeliharaan anak)
b.
Sulthah ‘ala sya’in mu’ayanin ialah
hak manusia untuk memiliki sesuatu, seperti seseoarang berhak memiliki mobil.
2.
Taklif adalah orang yang bertanggung
jawab, taklif adakalanya tanggungan pribadi (‘ahdah syakhshiyah) seperti
seorang buruh menjalankan tugasnya, adakalanya tanggungan harta (‘ahdah
maliyah) seperti membayar utang.
Para fukaha berpendapat, bahwa hak
merupakan imbangan dan benda (a’yan). Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat,
bahwa hak adalah bukan harta (ina al-haqqlaisah hi al-mal).[2]
C.
Sebab-sebab Pemilikan
Untuk
memiliki harta, ternyata tidak semudah yang dipikirkan oleh manusia. Harta
dapat dimilki oleh seseorang asal tidak bertentangan dengan aturan hukum yang
berlaku ,baik hukum islam maupun hukum adat. Harta berdasarkan sifatnya dapat
dimilki oleh manusia, sehingga manusia dapat memiliki suatu benda. Faktor - faktor yang menyebabkan harta dapat dimiliki antara
lain :
1.
Ikraj al mubahat
Untuk harta yang mubah (belum
dimilki oleh seseorang). Sesuai hadist yang disebutkan bahwa harta yang tidak
termasuk dalam harta yang dihormati(milik yang sah) dan tidak ada penghalang
syara' untuk dimilki
Untuk memilki benda-benda mubhat diperlukan dua syarat
,yaitu :
a. Benda mubhat
belum diikhrazkan oleh orang lain. Seorang mengumpulkan air dalam satu wadah
kemudian air tersebut dibiarkan, maka orang lain tidak berhak mengambil air
tersebut karena telah diikhrazkan orang lain .
b. Adanya
maksud mimiliki. Seorang memiliki harta mubhat tanpa adanya niat, itu tidak
termasuk ikhraz. Seumpama seorang pemburu meletakkan jaringnya di sawah
kemudian terjeratlah burung – burung. Apabila pemburu meletakkan jaring itu
hanya sekedar untuk mengeringkan jaringannya, maka ia tidak berhak memiliki
burung-burung tersebut .
2.
Khalafiyah
Bertempatnya seorang atau sesuatu yang baru bertempat
ditempat yang lama, maka telah hilang berbagai macam haknya .
Kalifah ada dua macam :
a.
Khalifah syakhsy'an syaksysi waris
menempati tempat si muwaris dalam memiliki harta yang ditinggalkan oleh
muwaris. Jadi, harta yang ditinggalkan muwaris disebut tirkah .
b.
Khalifah syai'an
Apabila
seorang merugikan milik orang lain kemudian rusak ditangannya, maka wajiblah
dibayar harganya dan diganti kerugian-kerugian pemilik harta tersebut. Maka,
khalfiyah syai'in ini disebut tadlimin atau ta'wil (menjamin kerugian).
3.
Tamwull min ta mamluk
Segala yang terjadi dari benda yang
telah dimiliki menjadi hak bagi yang memiliki benda tersebut .Misalnya, bulu
domba menjadi hak milik bagi pemilik domba .
Dari segi iktiar , sebab malaiyah (memiliki) dibagi
menjadi dua macam , yaitu:
a. Ikhtiyariyah
Sesuatu yang
mempunyai hak ikhtiar manusia dalam mewujudkannya. Sebab ini dibagi menjadi dua
macam ,yaitu ikhraj al mubahat dan 'uqud .
b. Jabariyah
Sesuatu yang
senantiasa tidak mempunyai ikhtiar manusia dalam mewujudkannya. Sebab jabariyah
dibagi dua yaitu irts dan tawallud min al mamluk .
4.
Karena penguasaan terhadap milik
negara atas pribadi yang sudah lebih dari tiga tahun, Umar r.a ketika menjabat
menjadi khalifah berkata :
Sebidang
tanah akan menjadi milik seseorang yang memanfaatkannya dari seseorang yang
tidak memanfaatkannya selama tiga tahun. Hanafiyah berpendapat bahwa tanah yang
belum ada pemiliknya kemudian dimanfaatkan oleh seseorang, maka orang yang
memanfaatkannya itu berhak memiliki tanah itu.[3]
D.
Pembagian
Hak
Berbicara
masalah pembagian hak, maka jumlah dan macamnya banyak sekali, antara lain
dalam pengertian umum, hak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hak mal dan
hak ghair mal. Adapun pengertian hak mal :
“ Sesuatu yang berpautan dengan harta, seperti
pemilikan benda-benda atau utang-utang “.
Hak ghair mal terbagi dua bagian,
yaitu hak syakhshi dan hak ‘aini. Pengertian Hak syakhshi :
“ Sesuatu
tuntunan yang ditetapkan syara’ dari seseorang terhadap orang lain “.
Hak ‘aini ialah hak orang dewasa
dengan bendanya tanpa dibutuhkan orang kedua. Hak ‘aini ada dua macam: ashli
dan thab’i. Hak ‘aini ashli ialah adanya wujud benda tertentu dan adanya shabul
al-haq, seperti hak milikiyah dan hak irtifaq. Hak ‘aini thab’i ialah jaminan
yang ditetapkan untuk seseorang yang menguntungkan uangnya atas yang berhutang.
Apabila yang berhutang tidak sanggup membayar, maka murtahin berhak menahan
barang itu.
Macam-macam
hak ‘aini ialah sebagai berikut.
1.
Haq al-milikiyah ialah hak yang
memberikan pemiliknya hak wilayah. Boleh dia memiliki, menggunakan, mengambil
manfaat, menghabiskannya, merusakkannya, dan membinasakannya, dengan syarat
tidak menimbulkan kesulitan bagi orang lain.
2.
Haq al-intifa ialah hak yang hanya
boleh dipergunakan dan diusahakn hasilnya. Haq al-Isti’mal (menggunakan)
terpisah dari haq al istiqlal (mencari hasil), misalnya rumah yang diwakafkan
untuk didiami. Si mauquf ‘alaih hanya boleh mendiami, ia tidak boleh mencari
keuntungan dari rumah itu.
3.
Haq al-irtifaq ialah hak memiliki
manfaat yang ditetapkan untuk suatu kebun atas kebun yang lain, yang dimiliki
bukan oleh pemilik kebun pertama. Misalnya saudara Ibrahim memiliki sawah di
sebelahnya sawah saudara Ahmad. Air dari selokan dialirkan ke sawah saudara
Ibrahim. Sawah Tuan Ahmad pun membutuhkan air. Air dari sawah saudara Ibrahim
dialirkan ke sawah dan air tersebut bukan milik saudara Ibrahim.
4.
Haq al-istihan ialah hak yang
diperoleh dari harta yang digadaikan. Rahn menimbulkan hak ‘aini bagi murtahin,
hak itu berkaitan dengan harga barang yang digadaikan, tidak berkaitan dengan
zakat benda, karena rahn hanyalah jaminan belaka.
5.
Haq al-ihtibas ialah hak menahan
sesuatu benda. Hak menahan barang (benda) seperti hak multaqith (yang menemukan
barang) menahan benda luqathah.
6.
Haq qarar (menetap) atas tanah
wakaf, yang termasuk hak menetapkan atas tanah wakaf ialah :
a.
Haq al-hakr ialah menetap di atas
tanah wakaf yang disewa, untuk yang lama dengan seizin hakim;
b.
Haq al-ijaratain ialah hak yang
diperoleh karena akad ijarah dalam waktu yang lama, dengan seizin hakim, atau
tanah wakaf yang tidak sanggup dikembalikan ke dalam keadaan semula misalnya
karena kebakaran dengan harga yang menyamai harga tanah, sedangkan sewanya
dibayar setiap tahun.
7.
Haq al-qadar ialah hak menambah
bangunan yang dilakukan oleh penyewa;
8.
Haq al-marshad ialah hak mengawasi atau
mengontrol
9.
Haq al- murur ialah
“ hak jalan manusia pada miliknya
dari jalan umum atau jalan khusus pada milik orang lain”.
10.
Haq ta’alli ialah
“Hak manusia untuk menempatkan
bangunannya di atas bangunan orang lain“.
11.
Haq al-jiwar ialah hak-hak yang timbul
disebabkan oleh berdempetnya batas-batas tempat, tinggal, yaitu hak-hak untuk
mencegah pemilik uqur dari menimbulkan kesulitan terhadap tetangganya.
12.
Haq Syuf’ah atau haq syurb ialah
“ Kebutuhan manusia terhadap air
untuk diminum sendiri dan untuk diminum bintangnya serta untuk kebutuhan rumah
tangganya “.
Ditinjau dari hak syirb, maka jenis
air dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut.
1.
Air umum yang tidak dimiliki oleh
seseorang, misalnya air sungai, rawa-rawa, telaga, dan lainnya. Air milik bersama
(umum) boleh digunakan oleh siapa saja dengan syarat tidak memadharatkan orang
lain.
2.
Air di tempat yang ada pemiliknya,
seperti sumur yang dibuat oleh seorang untuk mengairi tanaman di kebunnya,
selain pemilik tanah tersebut tidak berhak untuk menguasai tempat air yang
dibuat oleh pemiliknya. Orang lain boleh mengambil manfaat dari sumur tersebut
atas srizin pemilik kebun.
3.
Air yang terpelihara, yaitu air yang
dikuasai oleh pemiliknya, dipelihara dan disimpan di suatu yang telah
disediakan, misalnya air di kolam, kendi, dan bejana-bejana tertentu.[4]
E.
Klasifikasi
Pemilikan
Dalam
Fiqh Muamalah, milik terbagi dua :
1.
Milk tam, yaitu suatu pemilikan yang
meliputi benda dan manfaatnya sekaligus, artinya baik benda dan kegunaannya
dapat dikuasai. Pemilikan tam bisa diperoleh salah satunya melalui jual beli.
2.
Milk naqishah, yaitu bila seseorang
hanya memiliki salah satu dari benda tersebut, yaitu memiliki benda tanpa
memiliki manfaatnya yang disebut raqabah atau memiliki manfaatnya saja tanpa
memiliki bandanya yang disebut milik manfaat atau hak guna pakai dengan cara
i’arah, wakaf, dan washiyah.
Dari segi tempat, milik terbagi menjadi 3 :
1.
Milk al ’ain / milk al raqabah
: memiliki semua benda, baik benda tetap (ghair manqul) dan benda-benda yang
dapat dipindahkan (manqul). Contoh : pemilikan rumah, kebun, mobil dan motor.
2.
Milk al manfaah : seseorang
yang hanya memiliki manfaatnya saja dari suatu benda. Contoh : benda pinjaman,
wakaf, dll.
3.
Milk al dayn : pemilikan
karena adanya utang. Contoh : sejumlah uang dipinjamkan kepada seseorang atau pengganti
benda yang dirusakkan.
Dari segi cara berpautan milik
dengan yang dimiliki (shurah) milik dibagi 2 :
1.
Milk al mutamayyiz : sesuatu
yang berpautan dengan yang lain, yang memilki
batasan-batasan, yang dapat memisahkannya dari yang lain. Contoh : antara
sebuah mobil dan seekor kerbau sudah jelas batas-batasnya.
2.
Milk al syai’ atau milk al
musya : milik yang berpautan dengan sesuatu yang nisbi dari kumpulan sesuatu,
betapa besar atau betapa kecilnya kumpulan itu. Contoh : memiliki sebagian
rumah, seekor sapi yang dibeli oleh 5 orang untuk disembelih dan dibagikan
dagingnya.[5]
Hak milik dalam islam dapat di
lihat sebagai berikut :
1.
Hak Milik Berdasarkan Bentuk
(ya’tibari mahali)
a.
Kepemilikan yang didasari dari
bentuk barangnya.
1)
Kepemilikan barang (Milkiyatun
al-’ain)
a)
Barang yang dapat dipindah
(al-mangkulah), barang yang dapat berpindah-pindah contohnya adalah tas.
b)
Perhiasan (al-ma’ta),
perhiasan yang memiliki nilai jual bagi pemiliknya, seperti emas, berlian yang
suatu hari dapat dijual kembali.
c)
Hewan (al-haiwan), barang yang
berbentuk hewan, seperti sapi, kambing.
d)
Tetap (al-’uqar) barang tetap
tidak dapat berpindah-pindah seperti tanah, gedung.
b.
Kepemilikan manfaat (Milkiyatun
manfaat) kepemilikan berdasarkan manfaatnya, seperti buku, karena buku dimiliki
bukan berdasarkan kertasnya, cover melainkan karena manfaatnya.
c.
Kepemilikan hutang (Milkiyatun
al-adiyan), kepemilikan yang berkaitan dengan hutang dan kredit-kredit lainnya.
2.
Hak Milik Berdasarkan Penuh
atau Tidak (ma yatsa tamaw naquson)
a.
Hak Penuh (milkiyatun tammah),
kepemilikan yang sudah penuh haknya, seperti pemilik dari rumahnya sendiri.
b.
Hak Milik tidak Penuh
(milkiyatun ann-uqsah), kepemilikan yang masih tergantung orang lain, misalnya
ahli waris yang pewarisnya belum wafat.
3.
Hak milik berdasarkan
keterpautan (ba ‘a tabara sowaro tohha)
a.
Milkiyatun mutamaziyah, yaitu adanya
batasan-batasan, kejelasan perbedaan antara mobil dan rumah, jika di halaman
rumah terparkir mobil belum tentu itu adalah mobil dari
pemilik rumah, bisa saja itu mobil milik tamu, karena ada kejelasan perbedaan
antara mobil dan rumah.
b. Milkiyatun
sya-i’ah, yaitu adanya pembagian dari keseluruhan, adanya pembagian,
contohnya dalam hal investasi seriap investor memiliki bagiannya tersendiri di
perusahaan, maka kepemilikan perusahaan tersebut dibagi-bagi.
Adapun factor-faktor yang menyebabkan harta dapat dimiliki antara lain :
1.
Ikraj al muhabat, untuk harta
yang mubah (belum dimiliki seseorang) atau harta yang tidak termasuk dalam
harta yang dihormati (milik yang sah) dan tidak ada penghalang syara’ untuk
dimiliki. Untuk memiliki benda-benda mubahat diperlulkan dua syarat yaitu :
a.
Benda mubahat belum diikrazkan
oleh orang lain
b.
Adanya niat (maksud) memiliki
2.
Khalafiyah ialah:
حلول شخص او شئ جديد محل قديم زائل فى
الحقوق
“Bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru bertempat di tempat yang
lama, yang telah hilang berbagai macam haknya”.
Khalafiyah ada dua macam :
a.
Khalafiyah syakhsyi ‘an
syakhsyi yaitu si waris menempati tempat si muwaris dalam memiliki harta-harta
yang ditinggalkan oleh muwaris. Harta yang ditinggalkan oleh muwaris disebut
firkah.
b.
Khalafiyah syai’an syai’an yaitu
apabila seseorng merugikan milik orang lain atau menyerobot barang orang lain,
kemudian rusak ditanganya atau hilang. Maka wajiblah dibayar harganya dan
diganti kerugian. Kerugian pemilikharta.
3.
Tawallud mim mamluk, yaitu
segala yang terjadi dari benda yang dimiliki hak bagi yang memiliki benda tersebut.
4.
Karena penguasa terhadap milik
Negara atas pribadi yang sudah lebih dari 3 tahun di ruang lingkup hak dalam
islam. Milik yang di bahas dalam fiqih muamalah secara garis besar dapat dibagi
menjadi 2 bagian, yaitu sebagai berikut :
a.
Milk tam yaitu suatu kepemilikan
yang meliputi benda dan manfaatnya sekaligus, artinya bentuk benda dan
kegunaanya dapat dikuasai. Pemilikan tam bisa diperoleh
dengan banyak cara misalnya jual beli.
b.
Milk naqishah, yaitu bila seseorang
hanya memiliki salah satu dari benda tersebut. Memiliki benda tanpa memiliki
manfaatnya atau memiliki manfaatnya saja tanpa memilikizatnya.
Milk
naqishah yang berupa penguasaan terhadap zat barang (benda) disebut milk
raqabah.Sedangkan milk naqish yang berupa penguasaan terhadap kegunaanya saja
disebut milk manfaat/hak guna pakai.
Dilihat dari Segi Mahal
(tempat) milik dibagi menjadi 3
1.
Milk al ‘ain atau milk al raqabah,
yaitu memiliki semua benda baik benda tetap (ghair manqul) maupun benda-benda yang
dapat dipindahkan (manqul) seperti pemilikan terhadap rumah, kebun, mobil,
motor dll.
2.
Milk manfaah, yaitu seseorang yang
hanya memiliki manfaatnya saja dari suatu benda. Seperti
benda hasil meminjam, wakaf dll.
3.
Milk al dayn, yaitu pemilikan
karena adanya utang. Misalnya sejimlah uang yang dipinjamkan kepada
seseorang/pengganti benda yang dirusakkan.
Dari Segi Shurah (cara berpautan milik dengan yang dimiliki) milik dibagi menjadi
dua bagian yaitu :
1.
Milk al mutamayyiz
ما تعلق بشئ متعيد ذي حدود تفصله من
سواه
“Sesuatu yang berpautan dengan yang lain, yang memiliki
batasan-batasan yang dapat memisahkanya dari yang lain”.
Misalnya : antara sebuah mobil dan seekor kerbau
Misalnya : antara sebuah mobil dan seekor kerbau
2.
Milik al sya’I atau milik al
musya yaitu :
الملك المتعلق بجزء نسبي غير معيذ من
مجموع الشبئ مهما كان ذلك الجزء كبيرا او صغيرا
“Milik yang berpautan dengan sesuatu yang nisbi dari kumpulan sesuatu,
betapabesar/betapa kecilnya kumpulan itu”.
Misalnya memiliki seekor sapi yang dibeli oleh 40 orang, untuk disembelih
dan dibagikan dagingnya.[6]
F.
Beberapa
Prinsip Pemilikan
Pemilikan dalam berbagai jenis dan
corak sebagaimana yang telah disampaikan di muka memiliki beberapa prinsip yang
bersifat khusus.Prinsip tersebut berlaku dan mengandung implikasi hukum pada
sebagian jenis pemilikan yang berbeda pada sebagian pemilikan lainnya. Prinsip-prinsip tersebut adalah
sebagaimana disampaikan di bawah ini.
1. Prinsip pertama .
ان الملك
العين يستلزم مبد ئيا ملك المنفعة ولاعكس
‘’pada prinsipnya milk al-‘ain (pemilikan atas benda) sejak awal disertai milk almanfaat (pemilikan atas manfaat), dan bukan
sebaliknya’’.
Maksudnya, setiap pemilikan benda pasti diikuti
dengan pemilikan atas manfaat.Dengan pada prinsip setiap pemilikan atas benda
adalah milk al-tam (pemilikan semourna). Sebaliknya,setiap pemilikan
atas manfaat tidak mesti diikuti dengan pemilikan atas bendanya,sebagaimana
yang terjadi pada ijarah (persewaan)
atau I’arah (pinjaman).
Dengan demikian pemilikan atas suatu benda tidak
dimaksudkan sebagai pemilikan atas zatnya atau materinya, melainkan maksud dari
pemilikan yang sebenarnya adalah pemanfaatan suatu barang.Tidak ada artinya
pemilikan atas suatu harta (al-mal)
jika harta tersebut tidak mempunyai manfaat.Inilah prinsip yang dipegang teguh
oleh fuqaha’ Hanafiyah ketika mendefiniskan al-mal
(harta) sebagai benda materi bukan manfaatnya.Menurut fuquha’ hanafiyah manfaat
merupakan unsur utama milkiyah
(pemilikan).
2. Prinsip kedua
ان اول ملكية تثبت على الشيئ الذى لم يكن مملو كا قبلها انما تكون دائما
ملكية تامّة
‘’pada prinsipnya pemilikan awal pada suatu
benda yang belum pernah dimiliki sebelumnya senantiasa sebagai milk al-tam (pemilikan sempurna)’’.
Yang dimaksud dengan pemilikan pertama adalah
pemilikan diperoleh berdasarkan prinsip ihraz
al-mubahat dan dari prinsip tawallud
minal-mamluk. Pemilikan sempurna seperti ini akan terus berlangsung sampai
ada peralihan pemilikan. Pemilik awal dapat mengalihkan pemilikan atas banda
dan sekaligus manfaatnya melalui
jual-beli,hibbahdan cara lain yang menimbulkan peralihan milk al-tam kepada pihak lain,mengalihkan manfaat saja atau
bendanya saja kepada orang lain ini merupakan pemilikan naqish.
Berdasarkan uraian di muka dapat disimpulkan bahwa
pemilikan sempurna adakalanya diperoleh melalui pemilikan awal (ihraz al-mubahat dan al-tawallud),
sedang pemilikan naqish hanya dapat
diperoleh melalui sebab peralihan dari pemilik awal, yakni melalui akad.
3. Prinsip ketiga
ان ملكية
العين لاتقبل التوقبت اما ملكية المنفعة فالاصل فيها التوقيت
‘’pada prinsipnya pemilikan sempurna tidak dibatasi
waktu, sedang pemilikan naqish dibatasi waktu’’.
Milk al-‘ain berlaku
sepanjang saat (mu’abbadah) sampai
terdapat akad yang mengalihkan pemilikan kepada orang lain.Jika tidak muncul
suatu akad baru dan tidak terjadi khalafiyah, pemilikan terus berlanjut. Adapun
milk al-manfaat yang tidak disertai
pemilikan bendanya berlaku dalam waktu yang terbatas,sebagaimna yang berlaku
pada persewaan, peminjaman, wasiat manfaat selama batas waktu yang telah
ditentukan maka berakhirlah milk-al
manfaat.
Batas waktu dalam milk
al manfaat ini jika bersumber dari akad mu’awwadhah
seperti ijarah (persewaan) maka
sebelum berakhir batas waktunya pemilik benda tidak berhak menuntut
pengembalian,karena sesungguhnya ijarah merupakan bai’ al-manfaat (jual beli atas manfaat) dalam batasan waktu
tertentu. Apabila milk
al-manfaat tersebut bersumber dari akad tabbaru’
seperti pada I’arah (peminjaman),
biasanya tidak diikuti batas waktu yang pasti. Namun pada umumnya pihak yang
meminjamkan menghendaki pengembalian dalam waktu dekat, sehingga setiap saat ia
dapat meminta pengembalian benda yang dipinjamkannya.
Sekalipun demikian para fuquha’ juga memperhatikan
batas waktu pengembalian ‘ariyah yang
menimbulkan kerugian pada pihak peminjam.Seperti jika seorang pemilik
meminjamkan tanah untuk kepentingan bercocok tanam, berkebun atau untuk
mendirikan bangunan.Kemuadian pemilik menghendaki pengembalian tanah tersebut
sebelum pekerjaan tersebut diselesaikan. Mengenai hal
ini fuquha’ menetapkan kebijakan dengan
perincian perkasus,sebagaimana berikut ini.
a. Dalam kasus pinjaman untuk pertanian,pemilik tanah tidak berhak menuntut
pengembalian sebelum masa panen, sebab pertanian berlangsung dalam satu musim
tanam. Berbeda dengan kasus persewaan tanah untuk pertanian. Dalam hal ini
penggunaan melebihi kasus persewaan tanah untuk pertanian. Dalam hal ini
penggunaan melebihi batas waktu sampai masa panen diganti dengan penambahan
ongkos sewa. Dengan cara demikian terpeliharalah hak pemilik sedang pihak
penyewa tidak dirugikan.
b. Dalam kasus pinjaman untuk tujuan perkebunan dan untuk mendirikan bangunan,pemilik tanah berhak menarik kembali tanahnya setiap saat ia suka. Ketika itu
peminjam wajib mencabut kebun atau merobohkan bangunan dan menyerahkan tanah
kepada pemiliknya dalam keadaan kosong. Karena
perkebunan pendirian bangunan berlangsung tidak terbatas masa tertentu, tidak
seperti pertanian yang berakhir dengan masa panen.Namun jika sejak semula
pinjaman tersebut dibatasi dengan waktu, sedang pemilik menarik kembali
tanahnya sebelum usaha yang dilakukan pihak pinjaman selesai dilakukan, maka
pemilik benar-benar telah berbuat curang (gharar)
yang sangat merugikan.Dalam kasus sepeti ini pihak peminjam berhak menuntut
kerugian yang terhitung sejak pengosongan tanah sampai batas akhir waktu,
dengan mempertimbangakan harga jual bangunan atau perkebunan.
4. Prinsip keempat
ان ملكية الاعيان لاتقبل الاسقاط وانما يقبل النقل
‘’pada prinsipnya pemilikan benda tidak dapat
digugurkan,namun dapat dialihkan atau dipindah’.
Sekalipun seseorang bermaksud menggugurkan hak
miliknya atas suatu barang, tidak terjadi pengguguran, dan pemilikan tetap
berlaku baginya.Berdasarkan prinsip ini islam melarang sa’ibah (litt.melepaskan),yaitu perbuatan semata menggugurkan atau
melepaskan suatu milik tanpa pengalihan kepada pemilik baru. Secara umum
perbuatan ini termasuk dalam kategori tabdzir
(menyia-nyiakan) karunia tuhan.
5. Prinsip kelima
ان
الملكية الشائعة فى الاعيان المادية هي فى الاصل كالملكية المتميزة المعينة فى
قابلية التصرّف الالمانع
‘’pada prinsipnya mal al-masya’ (pemilikan campuran) atas benda materi, dalam hal
tasharruf, sama posisinya dengan milk
al-mutayyaz, kecuali ada halangan (al-mani)’’.
Berdasarkan prinsip ini diperbolehkan menjual
bagian dari milik campuran,mewakafkan atau berwasiat atasnya. Karena tasharruf atas sebagian harta campuran
sama dengan bertasharruf atas pemilikan benda secara keseluruhan. Kecuali
bertasharruf dengan tiga jenis akad: rahn(jaminan utang), hibah dan ijarah
(persewaan). Halangan bertasharruf pada rahn
dikarenakan tujuan rahnadalah sebagai
agunan pelunasan hutang, sehingga marhun
(benda agunan)harus diserahkan kepada murtahin
(pemegang gadai/agunan). Yang demikian tidak sah dilakukan atas sebagian dari milik campuran.
Halangan bertasharruf dengan hibbah dikarenakan kesempurnaan hibbah harus disertai penyerahan (aq-qabdhu), sedang penyerahan hanya
dapat dilakukan pada milk al-mutayyaz.(harta
dapat dipisahkan dari yang lainya). Adapun halangan tasharruf dengan ijarah,menurut pandangan fuquha’
hanafiyah adalah jika akad ijarah
tersebut dilakukan terhadap sebagian dari harta campuran.namun jika ijarah dilakukan oleh masing-masing
sekutu atas keseluruhan harta campuran, yang demikian ini tidak ada halangan.
6. Prinsip keenam
ان الملكية السائعة فى الديون المشتركة و هي متعلقة بالذمم لاتقبل القسمة
‘’pada prinsipnya milik campuran atas hutang
bersama yang berupa suatu beban pertanggungan tidak dapat dipisah-pisahkan’’.
Apabila pemilikan atas hutang berserikat telah
dilunasi (diserahkan) maka telah berubah menjadi milk al-‘ain bukan lagi sebagai milk
al-dain.Kemudian dapat dilakukan pembagian bagi masing-masing pemiliknya,
sebagaimana yang dapat dilakukan terhadap setiap harta campuran yang dapat
menerima pembagian.
Berdasarkan prinsip ini, apabila salah seorang dari
sejumlah orang yang memiliki piutang bersama menerima pelunasan hutang yang
sepadan dengan bagian yang dimilikinya, maka pelunasan tersebut harus dibagi di
antara sekutunya.Sebab kalau seorang di antara mereka dapat melepaskan diri
dari sekutunya dalam hal pelunasan hutang harus dinyatakan sebelumnya bahwa
telah terjadi pembagian atas piutang bersama dalam bentuk pertanggungan
sehingga tidak lagi sebagai piutang bersama, melainkan telah berubah menjadi
piutang mumayyazah.Demikianlah maksud dari ‘’piutang bersama tidak dapat
pisah-pisahkan’’.[7]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setiap manusia memiliki kebutuhan,
sehingga sering terjadi pertentangan kehendak. Untuk menjaga keperluan manusia
agar tidak melanggar hak-hak orang lain, maka timbulah hak-hak diantara sesama
manusia, lebih tepatnya hak kepemilikan.
Sesuai dengan apa yang telah
dipaparkan di atas, bahwa perbedaan hak dan pemilik adalah tidak semua yang
memiliki berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat
memiliki. Setiap pemilikan benda pasti diikuti dengan pemilikan
atas manfaat.Dengan pada prinsip
setiap pemilikan atas benda adalah milk al-tam (pemilikan sempurna). Sebaliknya,setiap pemilikan atas manfaat
tidak mesti diikuti dengan pemilikan atas bendanya,sebagaimana yang terjadi
pada ijarah (persewaan) atau I’arah (pinjaman).
Dengan demikian pemilikan atas suatu
benda tidak dimaksudkan sebagai pemilikan atas zatnya atau materinya, melainkan
maksud dari pemilikan yang sebenarnya adalah pemanfaatan suatu barang.Tidak ada
artinya pemilikan atas suatu harta (al-mal)
jika harta tersebut tidak mempunyai manfaat.Inilah prinsip yang dipegang teguh
oleh fuqaha’ Hanafiyah ketika mendefiniskan al-mal
(harta) sebagai benda materi bukan manfaatnya.Menurut fuquha’ hanafiyah manfaat
merupakan unsur utama milkiyah
(pemilikan).
DAFTAR
PUSTAKA
Sohari Sahrani dan Ru’fah
Abdullah,Fikih
Muamalah(Bogor:Ghalia Indonesia,2011)
[1]httpblog.umy.ac.idrodes2008ringkasan-materi-fiqih-muamalah
[7] Ghufron A dan Mas ‘Adi,Fikih
Muamalah Kontektual(Jakarta:PT Raja Grafindo Perdana,2002), h. 68-74
Comments
Post a Comment